Jenderal Gatot soal Film G30S/PKI – Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menilai ada unsur pemaksaan dari instruksi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk menonton kembali film terkait peristiwa G30S/PKI.
Yati khawatir hal itu menjadi legitimasi bagi Panglima untuk memaksakan masyarakat menonton film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI tersebut.
“Menonton atau tidak itu adalah hak setiap orang. Jangan sampai ada unsur pemaksaan,” ujar Yati di Jakarta, Rabu (20/9).
Selain itu, Yati pun menilai sebaiknya TNI sebagai lembaga pertahanan negara pun mempertimbangkan dampak pada masyarakat atas wacana pemutaran kembali film itu.
Film yang menjadi salah satu propaganda Orde Baru dengan kewajiban tayang dan tonton setiap malam 30 September. Kewajiban itu kemudian dihapus ketika reformasi yang meruntuhkan orde baru datang pada 1998 silam.
“Harus sudah dipikirkan efeknya, misal nanti muncul stigma lagi pada korbannya. Padahal kita sejak lama sudah berusaha memulihkan situasi itu,” imbuhnya.
Rencana pemutaran kembali film G30S/PKI merupakan insiasi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang ingin nonton bareng (nobar) bersama para prajurit TNI. Gatot beralasan pemutaran ulang film itu hanya untuk mengingatkan peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 agar tidak terulang lagi di masa sekarang.
Di satu sisi, lanjut Yati, ketika pemutaran film G30S/PKI itu akan dilakukan, maka sebaiknya film lain terkait sejarah 1965 pun jangan dilarang. Pasalnya, selama ini masih ada penolakan dari kelompok tertentu pada film sejarah 1965 versi lain seperti ‘Senyap’ dan ‘Jagal’ sehingga berujung pelarangan oleh pemerintah.
“Kalau pemerintah hanya mau nontonnya film ini (G30S/PKI) berarti pemerintah hanya mau masyarakat nonton film ini. Tapi jangan kemudian melarang versi lain itu kan ambigu,” katanya.
Yati mengatakan film G30S/PKI yang dirilis pada 1984 silam itu menonjolkan unsur kekerasan serta alat propaganda pemerintah saat itu yakni rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Dia pun menilai sebaiknya pemerintah melakukan upaya korektif dengan memverifikasi kembali film tersebut sebelum diputar kembali. Misalnya, dengan membuat film versi baru dari perspektif korban.
“Harusnya ada upaya korektif negara bahwa film yang lama ini memang penuh dengan nuansa kekerasan dan propaganda. Silakan saja diputar tapi jangan jadi kewajiban,” katanya.
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo menyarankan untuk dibuatkan film yang baru terkait peristiwa 1965 agar bisa dicerna generasi milenial.